Selasa, 16 Oktober 2012
Investigasi Air-tanah Pulau Babar (1)
Kelebihan seorang peneliti seperti saya, adalah bekerja sambil bermain; bekerja seolah-olah berlibur. Selain harus selalu siapnya seorang peneliti menerima tugas kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja.
Ketika (misalnya)kita sedang ingin menikmati waktu dengan keluarga di akhir pekan atau punya rencana dengan tetangga minggu depan, terpaksa batal karena harus pergi ke luar daerah selama 2 minggu ke depan. Dan beberapa hal lain, yang menjadikan pekerjaan ini punya lika-liku "suka dan duka" termasuk resiko perjalanan ke pulau terpencil, seperti pengalaman penulis ke Pulau Babar.
Kegiatan ke Pulau Babar adalah salah satu tugas rutin kantor yaitu Pemetaan Hidrogeologi seluruh Indonesia, dengan produk akhirnya berupa Peta Hidrogeologi; peta yang menggambarkan kondisi air-tanah di Pulau Babar dan sekitarnya.
Pulau Babar?, pasti banyak yang baru mendengar nama pulau ini. Secara geografis, pulau ini memang bukan pulau paling selatan Indonesia, tapi pulau ini merupakan pulau yang secara jarak paling dekat dengan Australia. Saya sendiri tahu nama dan lokasi pulau ini hanya sesaat sebelum saya akan mulai kegiatan petualangan saya di pulau ini.
Provinsi Maluku, merupakan provinsi di Indonesia dengan luas wilayah perairan paling luas di Indonesia. Dengan jumlah pulau yang hanya kalah dengan Kepuluan Riau dan Papua Barat, tiap pulau di Maluku mempunyai jarak berjauhan dengan pulau lain. Ini yang menjadikan, transportasi di Provinsi Maluku merupakan masalah pelik, sesuai dengan yang sering keluhan para pegawai pemerintah provinsi. Saya yakin, pejabat tinggi(termasuk Gubernur) di Maluku belum pernah melakukan kunjungan ke semua pulau di Maluku (mungkin termasuk Pulau Babar).
Selayaknya sebuah kegiatan penyelidikan atau penelitian, kegiatan ini dimulai dengan penyusunan proposal, termasuk persiapan pra-lapangan. Pengurusan izin kegiatan melalui proses panjangnya birokrasi di Indonesia -pun, harus juga dilakukan. Panjang disini berarti "panjang" dalam arti yang sebenar-benarnya. Pulau Babar yang letaknya di selatan, tetapi secara administrasi masih termasuk wilayah Provinsi Maluku, yang tentu saja kota Ambon masih menjadi ibukotanya, yang letaknya ada di Utara provinsi.
Saya sendiri (bersama tim) menghabiskan waktu berhari-hari menuju pulau Babar, tidak lain hanya karena rumitnya transportasi disana. Setelah naik pesawat reguler dari Jakarta ke Ambon, kami menginap sehari untuk keperluan administrasi di Provinsi. Berbekal informasi yang sudah didapat sejak dari Bandung, kami putuskan untuk melalui kota Saumlaki (Pulau Yamdena) dengan memakai jasa pesawat kecil yang melayani hanya beberapa kali dalam seminggu, tentu saja tiket sudah kami pesan jauh hari. Karena selain tidak tiap hari, pesawatnya pun hanya berpenumpang terbatas (sekitar 25 orang). Sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dari Saumlaki ke Pulau Babar dengan menggunakan transportasi laut sebagai satu-satunya cara menuju ke sana. Yang jadi masalah adalah jadwal keberangkatan kapal-kapal dari Saumlaki yang tidak jelas dan tidak tentu, termasuk kapal-kapal suplai barang untuk masyarakat Pulau Babar. Walhasil, kami harus menginap 3 hari sebelum akhirnya kita menumpang kapal pengangkut beras yang akan berlabuh juga ke Pulau Babar selain pulau-pulau lain di sekitarnya. Itupun tidak serta merta kita mendapatkan kapal tersebut dengan mudah, hampir tiap beberapa jam sekali kita harus ke Pelabuhan untuk mencari info kapal yang akan berlabuh ke Saumlaki dan berangkat berlabuh ke Pulau Babar. Dengan kecepatan sedang, mungkin karena penuhnya muatan kapal; kapal barang yang penuh dengan muatan ditambah penuhnya penumpang manusia dengan barang bawaanya yang beraneka ragam dari hewan ternak semacam kambing dan babi, hingga sayur-mayur atau hasil pertanian lain, kami sampai di Pulau Babar setelah menyusuri Lautan lepas Samudra Indonesia dengan ombak yang tentu tidak main-main.
Akhirnya sampai juga di Pulau Babar, dengan tingkat kelelahan yang cukup lumayan. Gambaran tentang pulau Babar yang sudah saya bayangkan sebelumnya hampir sama persis dengan kenyataan yang saya jumpai. Pulau terpencil yang eksotis, penduduk yang masih "natural" dengan keramahan yang tak dibuat-buat, laut dan pantainya yang indah, semuanya jelas di depan mata, dan kelelahan itupun terbayar lunas.
Tapi, layaknya pulau-pulau atau wilayah Timur Indonesia yang jauh dari Ibukota Negara, sarana-prasarana yang ada sangat minimalis, terbatas. Akses transportasi lokal penghubung antar desa masih jauh dari baik. Oh ya, Kepulauan Babar (pulau Babar merupakan pulau utama dengan beberapa pulau kecil disekitarnya) merupakan satu wilayah kecamatan dengan beberapa desa, 1 pulau 1 desa dengan jumlah penduduk tidak lebih dari penduduk satu RT di pulau Jawa.
Apa yang menarik dari Air-tanah ?
Belum banyak ahli air-tanah di Indonesia. Sesedikit orang yang peduli air-tanah. Padahal air-tanah ada paling dekat dengan kita. Air termasuk air-tanah merupakan hak yang paling hakiki yang paling dibutuhkan manusia, setara dengan udara yang harus selalu kita hirup setiap saat.
Air-tanah sendiri merupakan salah satu sumber air terpenting dalam sejarah peradaban manusia.
Berdasarkan data mutakhir UNEP (United Nations Environment Programme), jumlah total air di bumi adalah 35 juta km3, dengan jumlah air bersih (freshwater resources) hanya sekitar 2,5 % dari total jumlah air. Dari jumlah sumber air bersih yang ada, 30% diantaranya adalah bersumber dari air-tanah. Dan hampir 70% dari air bersih yang ada adalah bersumber dari es dan salju permanen yang menutupi daerah-daerah pegunungan, termasuk wilayah Antartika dan Artik, yang tentu saja tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk kepentingan manusia.
Data-data tersebut telah berbicara sesuatu yang jarang diperhatikan sebagian besar manusia, yaitu pentingnya keberadaan air-tanah.
Memang, hidrogeologi; ilmu yang mempelajari air-tanah merupakan ilmu yang bisa terbilang baru, selain tingkat komersil yang cukup rendah, yang tentu saja tidak terlalu menarik minat bagi para penggelut ilmu pengetahuan. Di beberapa text book hidrogeologi disebutkan bahwa hidrogeologi adalah cabang ilmu terbaru dari Geologi. Geologi sendiri merupakan salah satu ilmu tertua di dunia yang mempelajari segala hal tentang Bumi dengan banyak varian cabangnya yang banyak terpakai dalam dunia kebencanaan (geologi) seperti gunung api, gempa bumi, tanah longsor dll, juga banyak dibutuhkan di dunia tambang dan migas.
Di dunia pendidikan, geologi memang sudah cukup dikenal luas. Perguruan tinggi di Indonesia juga semkin banyak yang membuka jurusan (atau bahkan fakultas) geologi, walaupun bisa dikatakan cukup terlambat. Lulusannya pun banyak dibutuhkan dan langsung bisa bekerja di dunia industri komersil seperti migas dan tambang yang tentu saja menjanjikan kemewahan gaji dolar dengan segala fasilitas penunjangnya. Atau yang lebih suka tantangan, dunia kebencanaan geologi seperti gempabumi dan gunungapi juga tidak kalah menarik, termasuk mereka yang tinggal di daerah rawan bencana yang tentu saja harus melek "ilmu tentang bencana".
Lalu dimana "Hidrogeologi", bagaimana dengan dunia per air-tanah an? Alasan-alasan diatas mungkin yang menjadikan dunia air-tanah menjadi dunia yang tidak banyak mau digeluti oleh masyarakat. Sehingga sempat muncul juga pertanyaan (dari saya atau bisa juga dari kebanyakan orang), jangan-jangan orang yang menggeluti air-tanah adalah orang-orang yang tidak "pandai", karena yang pandai-pandai lebih suka pada varian geologi yang lain.
Sebagai peneliti yang sudah bertahun-tahun (?) bergumul dengan dunia air-tanah, saya jelas menolak premis tersebut. Orang-orang air-tanah adalah orang-orang yang bukan hanya pandai, tapi juga loyal dan peduli. Saya bukan menyombongkan diri, tapi saya dan juga teman-teman yang lain, adalah orang yang cinta air. Saya mungkin tidak terlalu mencintai pekerjaan saya, tapi saya mencintai apa yang menjadi objek pekerjaan saya, yaitu air, air tanah. Mungkin sedikit berlebihan (lebay), tapi memang begitu adanya.
Dengan pentingnya air (tanah) bagi kehidupan manusia, saya hanya bisa berharap apa yang sudah dan akan saya kerjakan untuk air-tanah, dapat bermanfaat demi keberlangsungan air -tanah dan masyarakat di Indonesia.
Senin, 15 Oktober 2012
Air-tanah?
Air-tanah, semua orang tahu tapi tidak semua orang mengerti. Air-tanah, mengapa saya menulisnya "air-tanah"? Air-tanah diartikan dari kata bahasa inggris; groundwater, dengan cara penulisan yang tersambung. Secara sederhana, air-tanah bisa diartikan sebagai air yang ada di dalam tanah (baca : bumi). Uraian lebih lanjut tentang air-tanah akan ada pada catatan-catatan berikutnya.
Di beberapa kalangan, khususnya dunia pendidikan dan penelitian, yang dapat kita temui pada buku-buku (berbahasa indonesia), air-tanah ditulis dengan "air tanah" atau "airtanah". Dosen hidrogeologi saya (alm. N. Prawoto), seorang pakar air-tanah, mengharuskan anak didiknya menulisnya dengan "airtanah", tersambung. Kalo dalam ujian atau penulisan skripsi, beliau mendapati tulisan yang salah, biasanya ditulis terpisah "air tanah", jangan harap kita dapat keluar dari ruangan beliau tanpa merasakan kuping panas dan jantung berdegup kencang, akibat "teguran" beliau.
Berbeda dengan para dosen yang mewakili dunia pendidikan, di dunia yang lebih umum, semisal tata perundangan yang membahas tentang air-tanah, air-tanah ditulis terpisah; air tanah.
Itulah mengapa penulis memakai "air-tanah", tanpa bermaksud gaya-gayaan, atau menghindari dua aturan diatas, tapi lebih ke "apapun bungkusnya yang penting isinya".
Catatan penjelas judul, sebelum penulis menuliskan sedikit pengetahuan dan pengalamnnya di dunia keair-tanahan. Semoga bisa bermanfaat dan memberi inspirasi bagi para pembaca.
Salam
Langganan:
Postingan (Atom)